Sabtu, 12 November 2011

Menilai Isteri Pake Kacamata Tetangga

Saya punya teman lama yang baru bertemu lagi kemaren tanggal 5/11-2011 di sebuah swalayan dengan anak-anak dan isterinya yang masih terlalu muda untuk menemaninya sebagai ibu dari anak-anaknya. Pertemuan singkat sekali tapi terasa begitu lama, mungkin karena kenangan lama kembali terusik diantara kita dalam obrolan singkat itu dan tidak lama kita pun berpisah. Menariknya,
disela-sela kesibukan isterinya mencari barang yang mau dibeli di pojok lokasi swalayan, ia sempat membisikkan kepada saya tentang perilaku isterinya yang tidak bisa bergaul dengan orang lain terutama dengan teman-teman suaminya kalau sedang berkunjung ke rumahnya.

'hari gini kuper ga jamannya', katanya sambil nampak kesal. 'Ngak seperti mbak Irma tetangga rumahku yang sering terlihat duduk tertawa dan berbagi cerita dengan teman-teman suaminya. Tapi, isteriku, jangankan nemenin teman-temanku yang suka kumpul di ruma, sereingkali ia terlihat sibuk membuat jajan, kue dan aneka minuman segar, mungkin biar aku ga banyak keluar kemana-mana kali..' imbuhnya, dengan sedikit mencibir.
Berhubung perbincangan singkat, jadi saya yang hanya termenung sejenak tiba-tiba harus meninggalkan tempat berbarengan dengan dia dan isterinya yang sudah selesai belanja. tampa sedikit koment pun, namun di hati terganjal tanda tanya besar yang tidak sempat terungkap. Selang tiga hari, kenangan kecil itu menggodaku untuk sedikit mengkritisi apa sebenarnya yang terjadi di rumah yang tergolong penuh wibawa di kampungnya karena selalu ada dalam setiap bakti sosial dan kegiatan warga. Terutama, sang isteri yang dikenal peduli keluarga kurang mampu dan anak-anak Yatim.

Hari keempat saya mencoba bertandang ke rumahnya, tiba-tiba yang nongol pembantu yang telah lama ikut dengannya hasil pemberian orang tuannya. 'Assalamualaikum..sapaku'. 'Wa alaikum salam..', seorang pembantu yang lagi bersih-bersih lantai ruang depan yang terlihat kurang terurus. ''Mas Didik ada Bu?', tanyaku. 'Om Didik sudah pulang Mas', jawab pembantu. Dengan keheranan, saya bertanya lagi, 'ke mana Bu?', ke Rio, karena ditugaskan disana. Dalam hati, bukankah ini rumah mas Didik..? 'bukankah ini rumah mas Didik Bu?', tanyaku lagi. 'Iya mas, tapi, maaf..ee..ee..kenapa Bu?', slorohku mendengar jawaban ibu yang terbata-bata. Ngak papa mas..Oh, ya maaf, ibu sedang bersih-bersih mas.'oh ya Bu, kalau begitu saya pulang ya Bu..'  Terimakasih.

Saya pun langsung hengkang dari rumah teman lamaku dengan perasaan penuh tanda tanya dan teka-teki. Apa yang terjadi dalam keluargannya, apa pula dengan isterinya? kenapa dia ke Rio, padahal disini hidup beginya sudah lebih dari cukup meski harus satu kota dengan mertuannya? perasaan seperti ini terus menggeliat dihati semabari berpikir bagaimana ya caranya bertemu dia lagi, paling tidak by phone berangkali bisa tau alasannya (bukan ingin tau) karena rasa kepedulianku sebagai teman, mungkin juga bisa sedikit kasih masukan.

Belakangan, kabar pisah dengan isterinya memecah ketermenunganku setelah salah seorang temannya yang juga temanku menceritakan detil kejadian dengan isterinya yang sebagian telah diguyurkan sarinya kedalam telingaku beberapa hari yang lalu di Swalayan. Ternyata apa yang menjadi keprihatinanku, berubah menjadi kenyataan. Dari menonton adegan rumah tangga tetangganya, ia terpikat oleh sikap wanita yang berada di samping rumahnya, yang beginya sosok yang semestinya ditiru oleh isterinya dalam memberikan pelayanan dan perhatian kepada teman-temannya saat berada di rumahnya untuk sekadar bersenang-senang menghabiskan waktu libur bersama.

Ia berpikir, akan menjadi sempurna jika dirinya dan keluarga terlihat mesra dan bisa berbagi bersama orang lain. Dia berharap sag isteri menjadi sosok orang lain dalam dirinya demi bisa tampil lebih pervec. Ia memandang perlu perubahan sikap yang lebih memuaskan meski harus beresiko ketidak nyamanan sang isteri. Tadinya, saya masih berprasangka ini sebuah kelalaian, tapi, tiba-tiba Hp saya menderingkan nada Sms, lalu segera saya membukannya, saya baca isinya, ternyata apa yang terjadi lebih dari yang saya duga. Mereka memutuskan untuk hidup sendiri-sendiri alias cerai setelah bebrapa hari berpisah. Sms singkat ini yang dikirim teman saya sekaligus menjawab kebingunganku selama ini denagn jawaban pembantu mas Didik yang mengatakan, ditugaskan ke Rio.

Hampir saja menangis. Karena, saya tau betul dia (mas Didik). Orangnya baik dermawan lagi. Saya tidak habis pikir, kenapa dia harus membuat pilihan pahit ini. Kalau saja ada tersisa sehari saja menjelang keberangkatannya ke Rio, barangkali keadaannya akan lebih sedikit membantu. Saya akan berjuang meyakinkan kalau seseorang tidak dapat menjadi orang lain, bagaimana pun keadaannya. Memaksakan kehendak tidak akan menambah kecerian apalagi memilih untuk berpisah.

Sejelek-jeleknya ia, tetap dia isterinya yang harus diterima apa adanya bukan disikapi dengan kemauan diluar kemampuannya. Berilah ruang cukup baginya untuk memperlihatkan kepada suaminya apa yang terindah dari maha karya Tuhan yang dititipkan dalam dirinya. Semestinya dia harus sadar, bahwa setiap orang berbeda-beda dalam berperilaku dan bersikap. Sepanjang tidak mengurangi nilai kehormatan sebuah keluarga, apalah arti seorang teman yang harus dibela-belain dengan cara menyakiti salah seorang dari keluarganya?

Untung sekali dunia Maya bagian dari kehidupan juga. Apa anda mesti korbankan keluarga demi ber-blogging ria bersama teman dan orang lain? saya rasa tidak demikian. Porsi berbagi pengalaman di dunia Maya harus sebanding dengan porsi berbagi kasih dan perhatian keluarga di dunia nyata. Betul? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar