Jumat, 28 Oktober 2011

Dalai Lama: Wanita Tak Bisa Bahagia

Persepsi yang mengatakan, hidup dengan seabreg kemewahan membuat seseorang bahagia adalah keliru. Memiliki semua sarana hidup yang melimpah menjanjikan kebahagiaan dan menyelamatkan orang dari kesengsaraan, sangat tidak benar. Hidup bukan berarti diklaim semu. Jangan buru-buru mengikuti klaim seperti itu. Bila orang mencari
bahagia dalam hidup, hidup tak selalu menghadirkan kebahagiaan. Bencana alam yang merugikan adalah potret utuh bahwa hidup tidak mampu memproduksi kebahagiaan secara nyata.

kelangkaan rasa bahagia dalam hidup bukan mengadopsi teori skeptisisme yang menihilkan bahagia dalam kehidupan. Bukan juga rekonstruksi gagasan semu kaum liberalis yang memastikan hidup sebagai ranah yang pantas atau harus ditanami pohon-pohon kebahagiaan. Gagasan yang menganggap puncak arti hidup, ketika seseorang telah merasakan bahagia. Disanalah surga impian yang dinanti-nanti sepanjang usia.

Lantas, untuk apa hidup kalau ternyata domainnya tak ada file berlabel bahagia? akankah menjadi sia-sia upaya kelangsungan hidup jika endingnya hanya di perempatan jalan saja? untuk apa kekayaan, kemewahan, perhiaasan, perkawinan dan pesta pora kalau tidak dapat dinikmati dalam nuansa kebahagiaan? hidup = tidak bahagia, atau tidak selalu bahagia, apa berarti hidup = sengsara? disini otak diberi PR untuk menuntaskannya.

Dalam ajaran Budha, dikenal apa yang disebut menurut istilah penganutnya, “Empat kebajikan kebenaran:” pertama, kehidupan manusia itu pada dasarnya tidak bahagia; kedua, sebab-musabab ketidakbahagiaan ini adalah memikirkan kepentingan diri sendiri serta terbelenggu oleh nafsu; ketiga, pemikiran kepentingan diri sendiri dan nafsu dapat ditekan habis bilamana segala nafsu dan hasrat dapat ditiadakan, dalam ajaran Buddha disebut nirvana; keempat, menimbang benar, berpikir benar, berbicara benar, berbuat benar, cari nafkah benar, berusaha benar, mengingat benar, meditasi benar. Dapat ditarnbahkan Agama Buddha itu terbuka buat siapa saja, tak peduli dari ras apa pun dia. (ini yang membedakannya dengan Agama Hindu).

Budha tak mengajarkan kiat-kiat menjalani hidup jauh dari memperoleh kebahagiaan. Point pertama diatas meskipun mengurangi arti kesucian secara kodrati setiap bayi yang terlahir, substansi bahagia yang dicari lewat kepentingan dan membiarkan dirinya tertahan di perangkap nafsunya, membuatnya sulit menangkap kebahagian dalam arti yang sebenarnya. Hanya fatamorgana dan bahagia kelabu. Hati dimana sumber kebahagiaan bersemi darinya, tidak pernah memberikan tempat bagi nafsu untuk mendemonstrasikan kebahagiaan. Memang, nafsu tidak bisa dinafikan, ia hanya diberi kesempatan untuk ditekan dan dikelola dengan bijak agar tersalurkan sesuai fitrahnya.

Segala upaya dari perbuatan manusia dalam konteks perburuan kebahagian dengan segala cara, memanfaatkan ketersediaan sarana memperkaya diri, demikian itu hanya melahirkan efek bahagia bukan manifestasi kebahagian itu sendiri. Hilangnya sebagian kecil dari kekayaan karena dicuri atau dijambret orang dijalan, membuatnya merasa sedih dan depresi, pertanda hilangnya juga porsi bahagia dalam dirinya. Bahagia sejati ada dalam kesejatian jiwa, bahagia semu yang dimanja oleh nafsu hanya menempati perasaan jiwa yang sedang mengalami fase fluktuasi bahagia yang kadang datang kadang pergi.  

Bahagia sejati tak memiliki fase kosong dari kebahagiaan. Kesejatian tak ber-spasi. Selamanya memunculkan nafas kebahagiaan dan menebar aroma kepuasan atas segala capaian baik yang bisa kompromi dengan kemauan hatinya. Ada masa kadaluarsa bahagia saat dinikmati dari hasil memupuk kekayaan dan meningkatkan omzet kebutuhan materi. Mementingkan diri kunci terhalangnya seseorang menemukan kebahagiaannya dimana pun berada.

Mencari kebahagiaan dengan memberikan kebahagiaan, adalah puncak hirarkhi pencapaian bahagia yang sesungguhnya. Pada saat itu, pencarian bukan termotivasi pemenuhan kepentingan diri, tapi memberikan kepada siapa dan apa pun hak bahagianya secara proposional. Cinta yang selalu disebut-sebut sumber munculnya kebahagiaan, selamanya tak kan memberikan kebahagiaan bila tidak terintegrasikan tuntutan jiwa sebagai mesin pengolah dan pemilah data yang asli dari yang palsu. Seorang wanita hanya terpuaskan perasaan cinta seorang lelaki yang mengaku mencintainya, tak peduli setulus apakah kadar cintanya, ia hanya berusaha menempatkan tambatan hatinya dalam neraca ubahsesuaikan dengan pengetahuan dan pengalaman dirinya. Ia mencari-cari titik-titik kecocokan sebagai langkah antisipasi ancaman putus ditengah jalan.

Dalai Lama tak mengingkari keadaan ini bagian dari sebuah metode meretas kebahagiaan yang sedang dicarinya. Seperti Islam, Dalai Lama memaklumi banyaknya upaya yang ditempuh, namun, seperti ilustrasi diatas yang sering menggambarkan pemaduan dua substansi atas nama cinta yang satu sama lain hanya mencari kecocokan bukan kemantapan dan keyakinan bahwa, kebahagiaan kapan saja bisa muncul dan akan hadir hanya dari dirinya bukan dari unsur diluar dirinya. Cinta yang diberikan, tidak pernah pamrih agar dibalas cinta sebesar yang diberikan. Menanti balasan, mengubah wajah hati menampakkan kemerahan kepalsuan yang asing baginya. Mengharap feedback setimpal atau lebih, potensi besar membelokkan jarum kompas ketulusan dan originilitas cassing kebahagiaan sejati.   

Wanita yang tidak bahagia, wanita yang mengontrak kebahagiaan dari luar. Dia tidak pernah mengerti kalau dirinya pemilik sejati kebahagiaan. Dalam bahasa Budha, ia hanya melakukan hidup dengan melewatkan kebajikan kebenaran yang pasti akan menemukan jalan melingkar. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar