Kamis, 10 November 2011

Kawin Beda Agama Masih Relevankah?

   Perkawinan jika dilihat dari sudut biologis dimana pria dan wanita saling bercengkrama, berbagi mesra dan kenikmatan serta saling memberikan puncak keinginan sebagai makhluk seperti lainnya yang mesti menyalurkan hasrat sexsualnya, maka hal demikian masih dalam kategori memenuhi kebutuhan biologis yang secara normal mesti disalurkan. Semakin besar intensitas perhatian terhadap kemauan birahi, semakin besar pula
kecenderungan mempersamakan dirinya dengan spesict lain. Itu langkah awal mengambil peran ganda, 'manusia-binatang'.

Dalam perkembangan perjalanannya ia akan mengalami traffic ketegangan memuncaknya nafsu birahi yang cukup signifikan. Luapan amarah nafsu fluktuatif sekali. Potensi mengarah zona merah dimana batas-batas normal telah terlewati, ruang akal dipenuhi asap tebal pikiran pemuasan semata, dan alat sensor kebenaran dan kesalahan tidak lagi berfungsi, maka yang terjadi penguasaan nafsu terhadap akal. Seakan hidup di kerajaan nafsu. Seluruh fungsi anggota tubuh menjadi dayang dan budak setia. hanya nafsu semata yang menjadi Raja. Terjadilah pergeseran tempat dan peran, tongkat komando yang berada di wilayah akal, kini beralih secara berangsur. Akal yang semestinya menempati posisi menentukan dalam setiap tindakan, kini secara bertahap dan meyakinkah berada di belakang ekor nafsu.

Tahap ini manusia secara tidak sadar telah berganti kostum. Baju kemanusiaannya tergantikan kostum hewani yang membuatnya tidak lagi bisa disebut manusia dalam pengertian Manusia Berakal. Tampilan tetap manusia tapi jiwa dan hasrat muncul dalam fungsi kebinatangan. Mlungsungi kali ya..hehe..

Berbagai peran yang dimainkan, manusia tidak bisa lepas dari norma dan etika. Satu-satunya pembeda dari mahkluk lain, sekaligus disanalah manusia bisa memperoleh peran istimewa sebagai pelaku tanggungjawab dari penyempurnaan jiwanya. Agama bagian inti dari peran yang harus dijalankan. Agama dalam pengertian aturan bukan dalam pengertian hukum yang dipahami Kiyai dan Ustad. Hukum punya pengertian dan lebih sering mengarah kepada kalimat boleh atau tidak, halal haram dan baik atau tidak. Aturan lebih kepada identifikasi dampak yang muncul dari praktek sebuah kasus.

Dalam pengertian pertama dimana manusia hanya sebatas sebuah tubuh dari jiwa mahkluk lain (binatang), perkawinan tidak dipandang sebagai entri point dalam menyeimbangkan hubungan mental dan kesadaran sebagai manusia. Perkawinan hanya secara simbolik sebagai penanda sahnya hubungan dua insan. Karena itu, ruang agama kecil sekali. Bahkan bagi pasangan yang sama-sama dalam satu agama pun, kecurangan agamis sering terjadi. Seperti, menolaknya seorang suami kepada istri dalam nafkah wajib dll..jelas, agama bukan beban dalam pengertian perkawinan diatas. Relevansi beda agama tidak masalah.

Seperti sudah menjadi pengetahuan dasar, apakah perkawinan hanya dimaksudkan sekadar pemuasan semata? apakah kawin hanya difungsikan pengesahan hubungan dalam pergulatan birahi saja? apakah hasil dari pertemuan biologis tidak melahirkan pengaruh kepada keturunan dalam mewariskan sifat-sifat bawaan? hal yang terpenting dari apa yang ada dalam diri manusia dan disanalah letak idealisme sisi insani dengan kecenderungan Ilahi, yaitu, keyakinan. Hal yang paling mendasar bagi manusia. Bagi penganut agama, korelasi Tuhan dengan hamba akan semakin terasa bila dibalut kasa keyakinan benar terhadap makna hidup berke-Tuhanan. Bahkan, penganut paham atesis pun punya pandangan yang sama tentu dengan pemahaman sesembahan yang berbeda. Demikian bisa dilihat keengganan mengawinkan anak mereka dengan kaum monoteis (bertuhan). Ini bukti pengaruh kuat sebuah keyakinan yang tidak diintervensi kekolotan atau fanatisme agama, tapi pure kekuatan keyakinan. Tentu bagi orang-orang yang menganggap penting arti sebuah keyakinan.

Perkawinan dalam kancah kontroversi agama, bukan hanya islam yang melarang, kaum Yahudi melihat non Yahudi lebih hina dari mereka. Jarang sekali perkawinan beda agama terjadi diantara mereka. Mereka menyebut selain mereka dengan, 'Qoyim', budak. Bagaimana perkawinan beda agama bisa berlangsung? Tentu, pemahaman mereka beragkat dari sebuah keyakianan potensi perolehan bibit unggul yang akan hilang bila kelangsungan perkawinan dilakukan dari dua insan yang berbeda agama.

Jadi, dasar relevansi dalam konteks manusia dalam pengertian kedua yang tidak menjadi budak nafsu, keyakinan terhadap Tuhan. Salah benarnya keyakinan akan melahirkan banyak masalah dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Begitu pun perlakuan baik suami maupun istri juga akan berpengaruh bahkan untuk janin mereka yang masih di kandungan. Keyakinan dan perbuatan harus sepadan. Pelanggaran bisa terjadi di ruang mental, akal maupun tindakan kalau keyakinan tidak sebanding lurus dengan prinsip ke-Tuhanan. Agama mana pun berkeyakinan sama. Budha yang meyakini biksu tidak diperkenankan menikah, banyak berdampak pelanggaran sexsual baik perkosaan maupun homo. Katolik yang meyakini Yesus sebagai Tuhan, melahirkan dampak falasi logika yang potensial digagahi kaum Zionis. Kita saksikan negara-negara uni Eropa yang dahulu penganut kristiani, kini meski dalam konteks politik mereka tunduk dibawah tekanan Amerika dan Israil. Belantika kerajaan Roma dibawah komando Zionis.

Islam pun demikian, antara yang muslim santri dan abangan melahirkan pengaruh kuat dalam kehidupan berumah tangga.Kalau dalam satu agama keyakinan begitu berpengaruh, apalagi dalam konteks beda agama? jadi, letak relevansi tidak dalam hukum meski hukum punya andil besar dalam membawanya ke ranah kontroversi, bahkan getol menjustivikasinya haram, tapi, landasan dasarnya dampak dan beban berat yang harus dipikul diluar problematika kehidupan yang semakin menantang. Yang terpenting bagi sebuah perkawinan abadi, bagaimana setiap orang dengan agama masing-masing bisa patuh terhadap keyakianannya bukan patuh kepada nafsunya yang membuatnya buta terhadap kenyataan hidup. Selamat menikmati..


Tidak ada komentar:

Posting Komentar