- seri tinjauan kritis masalah haji-
Berhaji adalah melakukan rukun islam yang kelima, yaitu melakukan sebuah perjalanan ke tanah suci Mekkah sebagai perbuatan ibadah yang harus disyukuri. Setiap muslim mendambakan haji agar memperoleh kesempurnaan dalam beragama karena telah melakukan semua petunjuk agama (rukun) secara menyeluruh.
Mekkah dan Madinah, tujuan berhaji. Karena, disanalah sebuah rumah Tuhan
dipusatkan sebagai centra pengabdian sekaligus penyatuan manusia dari berbagai ras dan golongan tampa melihat warna kulit agar Tuhan benar-benar dapat didekati setidaknya secara simbolik.
Dapat dimaklumi, mengingat esensi ke-Tuhanan diyakini setiap orang tak terlepas kaum Ateis sekalipun. Universalitas ke-Tuhanan memsimbolisasi apa saja tentaNgya, termasuk rumahNya. Keinginan memperoleh haji mabrur dambaan setiap pelaku haji meskipun dilakukan dengan niat mere-start ulang nama baik yang terlanjur kasep dimasyarakat. Atau, dongkrak popularitas, seperti, hajinya para selebritis. Ada juga yang berhaji untuk berbelanja aneka barang yang tidak ada di Indonesia.
Banyak pula yang karena pengin haji, apa pun yang punya nilai uang digadaikan untuk mendapatkan status dan sebutan Pak atau Bu haji. Ironinya, disamping biaya keberangkatan yang sangat tinggi dan semakin melambung, kini aturan yang diterapkan terlihat lebih memberi peluang pelanggaran dalam kelola hasil keuntungan dari departemen haji. Pasalnya, aturan jatah 5 atau 7 tahun bagi setiap pendaftar yang berarti harus menunggu giliran selama tenggang waktu tersebut, akan mempersulit calon jamaah haji terlebih bila mereka adalah kalangan manula.
Saya tidak tau pasti, apakah aturan ini lebih efektif dari pada menngurangi bahkan melarang para calon yang hendak melakukan haji untuk kesekian kalinya? karena satu orang boleh-boleh saja berhaji lebih dari satu kali. Mungkin sekarang sudah ada aturan larangannya. Masa yang panjang dalam penantian untuk melakukan tugas haji, adalah masa yang cukup melelahkan. Efesiensi waktu dan faktor usia tidak diperhitungkan dalam proses pemberlakuan penjatahan masa berhaji. Para manula tentu akan merasa keberatan. Akan lebih bermanfaat kalau aturan diperlakukan untuk orang-orang yang ingin mengulang hajinya yang kesekian kali, sebagai langkah semi preventif demi berlangsungnya kelancaran praktek haji setiap tahun. Entah, ada aturan seperti ini atau tidak.
Memaksimalka masa haji sama dengan menahan peluang emas yang selalu diupayakan denagn membanting tulang setiap saat dengan semangat dan keinginan yang semestinya sesegera mungkin ingin mereka lakukan. Coba bayangkan, kalau tahun 2011 didaftar sebagai calon haji, maka ia akan berangkat ditahun 2016 atau 2018 mendatang. Kalau harus menunggu satu tahun atau dua tahun masih bisa dimaklumi, tetapi, masa yang sangat panjang ini memungkinkan para calon yang telah mendaftar, mengalami top down dalam karier bisnisnya yang berarti kesulitan keuangan. Apa mungkin berhaji tampa membawa pesangon?
Siapa yang mau dengan aturan seperti ini? pembaca mau? ok, mungkin soal keuangan pra keberangkatan bisa diatasi dengan mengambil pinjaman dari bank pemerintah atau bank mana pun yang terjalin kerja sama oleh pihak departemen haji, justru ini lebih mengisyaratkan segalanya yang berkenaan dengan masalah haji, terinvertarisir oleh sebuah siklus Penguntungan sepenuhnya kepada pihak depertemen yang lebih terlihat adanya upaya sentralisasi seluruh penbiayaan dan keperluan sarana haji. Cost monopolited.
Pemerintah, dalam hal ini kementerian haji yang telah membuat kebijakannya sendiri atau karena kebijakan pemerintah Arab Saudi yang merasa kesulitan atas semakin membludaknya para pelaku haji dari seluruh penjuru dunia. Mungkin, hanya Indonesia saja yang memakai kebijakan ini, karena lemahnya pemerintah dalam melakukan negosiasi soal aturan haji, seperti dalam negosiasi-negosiasi lain yang dilakukan pemerintah terhadap negara mana pun dalam semua transaksi usaha.
Hal ini semakin terlihat jelas, seperti pada kebijakan menyangkut pengaturan pengadaan dan pengiriman TKI ke Arab Saudi khususnya, Indonesia selalu dirugikan, baik dalam persyaratan calon tenaga kerja atau jaminan keselamatan selama masa perantauan. Para korban pelanggaran aturan kerja yang mestinya telah disepakati antara pemerintah dan pihak kerajaan (kementrian haji), menunjukkan lemahnya posisi pemerintah kita dalam melakukan lobi.
Posisi lemah membuat rakyat selalu dikorbankan. Giliran keinginan pemerintah meminta bantuan/pinjaman kepada bank dunia dan IMF, pemerintah atas nama kesejahteraan rakyat meminta bantuan dana. Rakyat ditonjolkan sekadar alat menyalurkan keinginan egaliteristik pemerintah menutup ketidak-mampuan berbuat pembenahan pemerataan sektor ekonomi terutama ekonomi berbasis kerakyatan. Rakyat pun tetap tidak kebagian kecuali harus mengantri BLT dan Raskin. Kapan rakyat memperoleh haknya yang proposional dan tidak menjadi sapi perah selamanya?
Dalam membuat undang-undang terutamanya haji, pemerintah punya hak tidak sekadar mentolerir ketetapan kementrian haji Arab Saudi, tetapi, mereka juga bisa berbuat apa pun dalam penetapan aturan untuk menolaknya tampa harus mencederai pihak tuan rumah dan tampa merusak hubungan kemitraan. Jangan sampai kewibawaan undang-undang lebih besar dari kewibawaan moral pejabat kita, sehingga bisa berakibat terkooptasinya standarisasi status dan posisi mitra yang harus sebanding berjalan dan terjaga dengan baik agar terjalin komunikasi dua arah secara sehat dan berkesinambungan.
Tentu, perlakuan spesial penyelenggara acara musiman ini dengan pemberangkatan berkali-kali jamaah yang sudah dikenyangkan memandang Ka'bah dan pusara Nabi secara langsung, akan merugikan orang lain yang dalam masa waiting list bebrapa tahun kemudian. Tidak ada yang bisa memastikan mereka tidak diberagkatkan lagi kalau sudah mendaftar, apalagi biasanya tentu dengan pembelian tiket yang lebih dari standar dan dengan perlakuan yang istimewa.
Kalau saja pelanggaran ini (pemberangkatan berkali-kali) bisa diatasi secara baik, tidak akan ada aturan haji waiting list sekian tahun lamanya. Meskipun pengulangan terjadi oleh kalangan pejabat apalagi pengusaha. Kompleksitas persoalan haji disepakati tidak dalam pemberangkatan saja, melainkan cakupannya sangat bervariatif. Namun, setidaknya, mengingat beban berat melakukan masing-masing rukun islam sudah diambil sepertiganya oleh kewajiban haji, akan lebih bijaksana jika pemerintah justru meringankan ranah teknisnya agar terasa balance yang relatif bisa senergis. Haji sangat melelahkan. Haji melarang beberapa hal saat ritual dilakukan atas segala hal yang sebelumnya sah dikerjakan.
Jangan ada kesan haji menjadi bursa bisnis berbungkus agama. Dimana setiap tahun kita mendengar haji dalam konteks besarnya ongkos dan buruknya sarana di tempat tujuan. Padatnya penduduk bukan alasan jastifikasi pelanggaran akibat sulitnya penataan. Apa mesti diprivatisasi? Dengan biaya besar, mestinya pemerintah mampu menyediakan hotel berbintang bagi seluruh rakyatnya yang berhaji di tanah suci itu. Tidak ada yang merasa kepanasan saat beristirahat karena matinya alat pendindin ruangan (AC), atau kelaparan karena terlambatnya pengadaan makanan dan buruknya pelayanan dalam konsumsi.
Yang demikian bisa disebut pelayan masyarakat. Apa artinya pergi jauh-jauh ke tanah suci demi melakukan rukun terakhir kalau dihatinya terbawa perasaan janggal terhadap perlakuan pihak penyelenggara yang akan menurunkan nilai ibadah hajinya? seiring membanjirnya para calon haji dari tahun ke tahun, pemerintah harus lebih ekstra menata dan mengatur, karena Indonesia memiliki muslim terbesar di dunia yang sangat diperhitungkan oleh negara lain dan menjadi sasaran investasi berbisnis dan tujuan negara lain bereksplorasi kekayaan alam yang berada ditangan muslimin.
Akhirnya, ini kabar gembira atau justru sebaliknya? bagi kalangan manula, waiting list harus diterjemahkan diet usia agar kesehatan dan takdir berhajinya tetap terjaga sampai datangnya waktu yang telah ditentukan, begitu pun untuk yang muda-muda, jangan merasa nanti pada saatnya setelah membayar sejumlah uang untuk didaftar, akan kehilangan biaya tambahan untuk pesangon atau merasa kecewa dengan anggapan, kalau saja uang yang telah disetorkan dimanfaatkan untuk penambahan modal usaha, niscaya lima tahun kedepan bisa untuk berhaji lima kali. My frend yang budiman.. Tentu anda punya suara lain, silakan berbagi dan diskusikan bersama-sama..
Berhaji adalah melakukan rukun islam yang kelima, yaitu melakukan sebuah perjalanan ke tanah suci Mekkah sebagai perbuatan ibadah yang harus disyukuri. Setiap muslim mendambakan haji agar memperoleh kesempurnaan dalam beragama karena telah melakukan semua petunjuk agama (rukun) secara menyeluruh.
Mekkah dan Madinah, tujuan berhaji. Karena, disanalah sebuah rumah Tuhan
dipusatkan sebagai centra pengabdian sekaligus penyatuan manusia dari berbagai ras dan golongan tampa melihat warna kulit agar Tuhan benar-benar dapat didekati setidaknya secara simbolik.
Dapat dimaklumi, mengingat esensi ke-Tuhanan diyakini setiap orang tak terlepas kaum Ateis sekalipun. Universalitas ke-Tuhanan memsimbolisasi apa saja tentaNgya, termasuk rumahNya. Keinginan memperoleh haji mabrur dambaan setiap pelaku haji meskipun dilakukan dengan niat mere-start ulang nama baik yang terlanjur kasep dimasyarakat. Atau, dongkrak popularitas, seperti, hajinya para selebritis. Ada juga yang berhaji untuk berbelanja aneka barang yang tidak ada di Indonesia.
Banyak pula yang karena pengin haji, apa pun yang punya nilai uang digadaikan untuk mendapatkan status dan sebutan Pak atau Bu haji. Ironinya, disamping biaya keberangkatan yang sangat tinggi dan semakin melambung, kini aturan yang diterapkan terlihat lebih memberi peluang pelanggaran dalam kelola hasil keuntungan dari departemen haji. Pasalnya, aturan jatah 5 atau 7 tahun bagi setiap pendaftar yang berarti harus menunggu giliran selama tenggang waktu tersebut, akan mempersulit calon jamaah haji terlebih bila mereka adalah kalangan manula.
Saya tidak tau pasti, apakah aturan ini lebih efektif dari pada menngurangi bahkan melarang para calon yang hendak melakukan haji untuk kesekian kalinya? karena satu orang boleh-boleh saja berhaji lebih dari satu kali. Mungkin sekarang sudah ada aturan larangannya. Masa yang panjang dalam penantian untuk melakukan tugas haji, adalah masa yang cukup melelahkan. Efesiensi waktu dan faktor usia tidak diperhitungkan dalam proses pemberlakuan penjatahan masa berhaji. Para manula tentu akan merasa keberatan. Akan lebih bermanfaat kalau aturan diperlakukan untuk orang-orang yang ingin mengulang hajinya yang kesekian kali, sebagai langkah semi preventif demi berlangsungnya kelancaran praktek haji setiap tahun. Entah, ada aturan seperti ini atau tidak.
Memaksimalka masa haji sama dengan menahan peluang emas yang selalu diupayakan denagn membanting tulang setiap saat dengan semangat dan keinginan yang semestinya sesegera mungkin ingin mereka lakukan. Coba bayangkan, kalau tahun 2011 didaftar sebagai calon haji, maka ia akan berangkat ditahun 2016 atau 2018 mendatang. Kalau harus menunggu satu tahun atau dua tahun masih bisa dimaklumi, tetapi, masa yang sangat panjang ini memungkinkan para calon yang telah mendaftar, mengalami top down dalam karier bisnisnya yang berarti kesulitan keuangan. Apa mungkin berhaji tampa membawa pesangon?
Siapa yang mau dengan aturan seperti ini? pembaca mau? ok, mungkin soal keuangan pra keberangkatan bisa diatasi dengan mengambil pinjaman dari bank pemerintah atau bank mana pun yang terjalin kerja sama oleh pihak departemen haji, justru ini lebih mengisyaratkan segalanya yang berkenaan dengan masalah haji, terinvertarisir oleh sebuah siklus Penguntungan sepenuhnya kepada pihak depertemen yang lebih terlihat adanya upaya sentralisasi seluruh penbiayaan dan keperluan sarana haji. Cost monopolited.
Pemerintah, dalam hal ini kementerian haji yang telah membuat kebijakannya sendiri atau karena kebijakan pemerintah Arab Saudi yang merasa kesulitan atas semakin membludaknya para pelaku haji dari seluruh penjuru dunia. Mungkin, hanya Indonesia saja yang memakai kebijakan ini, karena lemahnya pemerintah dalam melakukan negosiasi soal aturan haji, seperti dalam negosiasi-negosiasi lain yang dilakukan pemerintah terhadap negara mana pun dalam semua transaksi usaha.
Hal ini semakin terlihat jelas, seperti pada kebijakan menyangkut pengaturan pengadaan dan pengiriman TKI ke Arab Saudi khususnya, Indonesia selalu dirugikan, baik dalam persyaratan calon tenaga kerja atau jaminan keselamatan selama masa perantauan. Para korban pelanggaran aturan kerja yang mestinya telah disepakati antara pemerintah dan pihak kerajaan (kementrian haji), menunjukkan lemahnya posisi pemerintah kita dalam melakukan lobi.
Posisi lemah membuat rakyat selalu dikorbankan. Giliran keinginan pemerintah meminta bantuan/pinjaman kepada bank dunia dan IMF, pemerintah atas nama kesejahteraan rakyat meminta bantuan dana. Rakyat ditonjolkan sekadar alat menyalurkan keinginan egaliteristik pemerintah menutup ketidak-mampuan berbuat pembenahan pemerataan sektor ekonomi terutama ekonomi berbasis kerakyatan. Rakyat pun tetap tidak kebagian kecuali harus mengantri BLT dan Raskin. Kapan rakyat memperoleh haknya yang proposional dan tidak menjadi sapi perah selamanya?
Dalam membuat undang-undang terutamanya haji, pemerintah punya hak tidak sekadar mentolerir ketetapan kementrian haji Arab Saudi, tetapi, mereka juga bisa berbuat apa pun dalam penetapan aturan untuk menolaknya tampa harus mencederai pihak tuan rumah dan tampa merusak hubungan kemitraan. Jangan sampai kewibawaan undang-undang lebih besar dari kewibawaan moral pejabat kita, sehingga bisa berakibat terkooptasinya standarisasi status dan posisi mitra yang harus sebanding berjalan dan terjaga dengan baik agar terjalin komunikasi dua arah secara sehat dan berkesinambungan.
Tentu, perlakuan spesial penyelenggara acara musiman ini dengan pemberangkatan berkali-kali jamaah yang sudah dikenyangkan memandang Ka'bah dan pusara Nabi secara langsung, akan merugikan orang lain yang dalam masa waiting list bebrapa tahun kemudian. Tidak ada yang bisa memastikan mereka tidak diberagkatkan lagi kalau sudah mendaftar, apalagi biasanya tentu dengan pembelian tiket yang lebih dari standar dan dengan perlakuan yang istimewa.
Kalau saja pelanggaran ini (pemberangkatan berkali-kali) bisa diatasi secara baik, tidak akan ada aturan haji waiting list sekian tahun lamanya. Meskipun pengulangan terjadi oleh kalangan pejabat apalagi pengusaha. Kompleksitas persoalan haji disepakati tidak dalam pemberangkatan saja, melainkan cakupannya sangat bervariatif. Namun, setidaknya, mengingat beban berat melakukan masing-masing rukun islam sudah diambil sepertiganya oleh kewajiban haji, akan lebih bijaksana jika pemerintah justru meringankan ranah teknisnya agar terasa balance yang relatif bisa senergis. Haji sangat melelahkan. Haji melarang beberapa hal saat ritual dilakukan atas segala hal yang sebelumnya sah dikerjakan.
Jangan ada kesan haji menjadi bursa bisnis berbungkus agama. Dimana setiap tahun kita mendengar haji dalam konteks besarnya ongkos dan buruknya sarana di tempat tujuan. Padatnya penduduk bukan alasan jastifikasi pelanggaran akibat sulitnya penataan. Apa mesti diprivatisasi? Dengan biaya besar, mestinya pemerintah mampu menyediakan hotel berbintang bagi seluruh rakyatnya yang berhaji di tanah suci itu. Tidak ada yang merasa kepanasan saat beristirahat karena matinya alat pendindin ruangan (AC), atau kelaparan karena terlambatnya pengadaan makanan dan buruknya pelayanan dalam konsumsi.
Yang demikian bisa disebut pelayan masyarakat. Apa artinya pergi jauh-jauh ke tanah suci demi melakukan rukun terakhir kalau dihatinya terbawa perasaan janggal terhadap perlakuan pihak penyelenggara yang akan menurunkan nilai ibadah hajinya? seiring membanjirnya para calon haji dari tahun ke tahun, pemerintah harus lebih ekstra menata dan mengatur, karena Indonesia memiliki muslim terbesar di dunia yang sangat diperhitungkan oleh negara lain dan menjadi sasaran investasi berbisnis dan tujuan negara lain bereksplorasi kekayaan alam yang berada ditangan muslimin.
Akhirnya, ini kabar gembira atau justru sebaliknya? bagi kalangan manula, waiting list harus diterjemahkan diet usia agar kesehatan dan takdir berhajinya tetap terjaga sampai datangnya waktu yang telah ditentukan, begitu pun untuk yang muda-muda, jangan merasa nanti pada saatnya setelah membayar sejumlah uang untuk didaftar, akan kehilangan biaya tambahan untuk pesangon atau merasa kecewa dengan anggapan, kalau saja uang yang telah disetorkan dimanfaatkan untuk penambahan modal usaha, niscaya lima tahun kedepan bisa untuk berhaji lima kali. My frend yang budiman.. Tentu anda punya suara lain, silakan berbagi dan diskusikan bersama-sama..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar